Home » , , , » ASWAJA DALAM PERSPEKTIF AKIDAH

ASWAJA DALAM PERSPEKTIF AKIDAH


ASWAJA DALAM PERSPEKTIF AKIDAH


Tugas Individual


Untuk memenuhi tugas  mata kuliah ASWAJA 2 
yang diampu oleh Drs. Hj. Hindun Anisah, MA




Oleh :

MUKHOLIS  ( 229333 )




FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)
JEPARA 2013




ASWAJA DALAM PERSPEKTIF AKIDAH


A.    PENDAHULUAN


Dengan Rahmat  ALLAH  SWT  yang telah memberi kenikmatan baik kenikmatan jasmani maupun rohani. Serta Solawat dan salam kita haturkan bagi beliau Nabi Muhammad SAW dengan harapan mendapat syafa’atnya di hari akhir.
Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah (Subandiyah 1992:80).
 Disekitar masyarakat kita sendiri kita dapat melihat suatu inovasi pendidikan seperti sekarang pondok pesantren membuka program Sekolah Kejar Paket, SMP Terbuka dan pelatihan-pelatihan.
Dengan demikian penulis berharap dengan adanya makalah ini pembaca mengerti, memahami, mempraktikan dan mengamalkan dari suatu uraian-uraian yang kami susun untuk sebagian kecil ikut andil memajukan pendidikan Indonesia.
Tentunya makalah  ini tidaklah sempurna seperti yang kita harapkan karena masih banyak kekurangan. Maka dari itu kami berharap pembaca untuk bisa memaklumi dan ikut memperbaiki.

Penulis berharap agar supaya instasi-instasi pendidikan daerah maupun instasi-instasi pendidikan Nasional lebih bijak dan maju dalam memegang amanah negara.



B.     PEMBAHASAN

a.       Prinsip Dasar Aqidah ASWAJA

            Prinsip dasar pandangan teologis (aqidah) yang dianut oleh aswaja adalah disandarkan pada pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Kedua tokoh ini dipandang sebagai imam aswaja dalam bidang aqidah. Jika ditelaah secara saksama metode berfikir dan pandangan tologis kedua sosok ini, maka benang merah yang dapat ditarik di sini adalah, bahwa tipologi pemikiran teologis dengan prinsip untuk tetap berpijak pada tradisi (al-sunnah) yang shahih dan cara pendekatan yang dapat memuaskan tuntutan penalaran tanpa mengabaikan (keluar) terlalu jauh dari makna yang tersurat dari teks, merupakan metode pemahaman keagamaan yang dicoba dikembangkan oleh Asy’ari dan al-Maturidi.
          Metode ini, nampaknya merupakan suatu pemahaman keagamaan yang tidak hanya memberikan implikasi pada kehidupan individu, tetapi berimbas pada realitas sosial, yang melahirkan konsep harmonitas antara kerangka berfikir tekstual dan kontekstual. Jika hal ini dapat difahami secara benar dan dinamis, pada gilirannya akan melahirkan pola keberagaman yang “ramah” terhadap kultur dan karifan lokal, tanpa harus keluar dari semangat keislaman.

          Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa aswaja merupakan suatu metode (manhaj) untuk memahami ajaran Islam yang berwatak sederhana (iqthishad), moderat (tawasut), toleran (tasamuh), adil (‘adalah) dan seimbang (tawazun), yang bersedia memahami segala sesuatu dalam “nuansa-nuansa”, bukan dalam tradisi “hitam-putih”.

  

b.      Pendapat Tentang  Prinsip Dasar ASWAJA

                        Abul Qasim al-Lakay (w. 418 H) dalam “Ushul I’tiqad ahlu al sunnah wa al jama’ah” menyebutkan, bahwa metode aswaja dalam memahami aqidah islamiyah dapat disimpulkan dalam lima hal:
1.    Mengikuti kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasulul-Nya dalam setiap permasalahan aqidah, tidak menolak sedikitpun ajaran yang terkandung di dalamnya dan tidak mena’wilkannya pada pengrtian yang didasarkan pada pola pikir manusia.
2.    Konsisten dalam menelusuri dan mengamalkan ijma’ para sahabat tanpa mengucilkan sebagian mereka, atu menodai nama baik sahabat.
3.    Tidak sembarang berdialog dengan orang-orang sesat (ahl bid’ah) prinsip Mujadalah billaty hia ahsan dan kritik obyektif, selalu dikedepankan.
4.    Dalam masalah aqidah yang sulit dikaji oleh akal manusia, seperti masalah ghaib (sam’iyah), analisa rasio semata tidak digunakan, dengan menyadari keterbatasan kemampuan akal manusia.
5.    Berusaha keras memelihara kesatuan jama’ah kaum muslimin, dan mengemukakan persoalan aqidah secara utuh, sederhana (mudah difahami) dan meyakinkan.
(Abul Qasim al-Lakay, Ushul I’tiqad ahlu al sunnah wa al jama’ah, Juz I, hl.13)

          Kelima metode di atas, disimpulkan oleh Andi Syamsul Bahri dalam tiga hal sebagai ciri (kekhususan) aswaja di bidang aqidah, yaitu :

1.      Mendahulukan nash (naqli) dari rasio (aqli), sehingga dalam bahasan aqidahnya selalu bertitik tolak pada nash al-Qur’an atau Sunnah shahih dan argumentasinya diperkuat dengan dalil rasional (aqli) yang mendukung dalil naqli.
2.      Dalam hal analisa dan pengembangannya selalu dititik beratkan kepada pemahaman dan pemuasan hati, dengan mengemukakan aqidah yang benar tanpa mengutak-atik aqidah yang bertentangan (salah) kecuali dalam kondisi tertentu.
3.      Kesatuan umat Islam merupakan perioritas pertama dalam rangka membina dan mempertahankan aqidah Islam, sehingga da’wah bi al-hikmah wa al-mauidza hasanah merupakan metode pengembangan yang selalu dikedepankan. (A. Syamsul Bahri, Ahlu Sunnah wal Jama’ah,hl.8)


c.       Implementasi dari metode pendekatan tologis
          Implementasi dari metode pendekatan tologis ini, dapat kita lihat dari beberapa pandangan aswaja dalam bidang aqidah, antara lain :
1)   Ma’rifat akan Dzat ( ذات ) Allah SWT.

                 Ma’rifat akan Dzat ( ذات ) Allah meliputi sepuluh unsur pokok, yaitu :
a)      Mengetahui Wujud Allah SWT.
            Dalam menetapkan adanya Tuhan, aswaja menggunakan dua pendekatan; pertama   dengan jalan I’tibar, sebagaimana yang banyak ditunjukkan oleh al-Qur’an, seperti dalam surat al-Baqarah, 164 :
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# ̍øgrB Îû ̍óst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZtƒ }¨$¨Z9$# !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uŠômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 7p­/!#yŠ É#ƒÎŽóÇs?ur Ëx»tƒÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̍¤|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ÇÊÏÍÈ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan bahtera yang yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Allah hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya yang demikian itu (terdapat) tanda (keberAdaan, keEsaan, keagungan dan kebesaran   Allah) bagi kaum yang mau berfikir”.


                                        
   Ayat di atas memberikan gambaran sekaligus penjelasan tentang nikmat-nikmat Tuhan kepada hamba-hamab-Nya, yang pada akhirnya akan membangkitkan kesadaran dan keyakinan akan adanya Tuhan, yang Esa, Maha Kuasa dan Maha Agung. Artinya dengan mengi’tibarkan penciptan langit dan bumi serta semua nikmat yang dianugerahkan tuhan kepada makhluk-Nya, maka kaum yang berfikir akan menyadari dan mengetahui dan mengakui adanya tuhan.
               Metode lain yang digunakan oleh aswaja untuk membuktikan adanya Tuhan, dengan cara penalaran dengan akal (logika), bahwa tiap-tiap yang baharu ,tidak mungkin tercipta tanpa peng “ada”, dan peng “ada” yang pertama sudah pasti tidak di “ada” kan. Dengan dasar ini, aswaja tidak sepakat dengan golongan yang mengatakan “perbuatan yang timbul dari perbuatan disengaja tidak memiliki pencipta.

b)   Mengetahui bahwa Allah SWT adalah Qadim tidak berpermulaan, Azali tidak ada awal wujudnya, mendahului segala sesuatu, mendahului yang hidup dan   yang mati.
                   Artinya, jika yang baharu membutuhkan peng “ada”, maka peng “ada” tersebut sudah pasti tidak ber peng ”ada”, sebab jika ia berpeng “ada”, maka dia juga akan membutuhkan peng “ada” lain, demikian seterusnya tanpa bisa berakhir dan hal ini secara aqal tidak ada gunanya (hasilnya).

c)      Mengetahui bahwa Allah SWT adalah Azali (abadi).

               Tuhan adalah abadi, tidak ada akhir wujud-Nya. Keyakinan ini berkaitan dengan unsur kedua di atas, artinya bahwa sesuatu yang telah diyakini dengan pasti ke-qadim¬annya, mustahil ia menjadi tiada atau berakhir. Hal ini didasarkan pada logika berfikir, bahwa sekiranya tuhan diasumsikan berakhir wujud-Nya, maka kemungkinan yang terjadi adalah Tuhan berakhir (tiada) dengan sendirinya, atau Tuhan diakhiri (ditiadakan) oleh sesuatu yang lain.

               Jika sesuatu yang diyakini kekekalannya dan menjadi sebab ada dan tiadanya sesuatu itu berakhir dengan sendirinya, niscaya sesuatu yang baharu (diadakan) juga dapat tiada dengan sendirinya. Hal ini tentu bertentangan dengan pernyataan, bahwa segala wujud yang adanya membutuhkan sebab, maka ketiadaannyapun pasti membutuhkan sebab pula.
                                                                                                                                                                                                       Demikian juga Dia tidak mungkin ditiadakan oleh sesuatu yang lain, sebab yang meniadakan sesuatu yang qadim, maka tentu dia lebih “kuasa” dari Tuhan,artinya tentu dialah yang “seharusnya” menjadi Tuhan. Dan sekiranya dia “sama”, bagaimana ia wujud bersama-Nya, firman Allah :
Al-Anbiya’ : 22
öqs9 tb%x. !$yJÍkŽÏù îpolÎ;#uä žwÎ) ª!$# $s?y|¡xÿs9 4 z`»ysö6Ý¡sù «!$# Éb>u ĸöyèø9$# $£Jtã tbqàÿÅÁtƒ ÇËËÈ

“Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, niscaya keduanya (langit dan bumi) akan hancur binasa”.

d. Mengetahui bahwa Allah SWT bukan jauhar yang berbentuk dan bertempat.

               Dalam pandangan Aswaja jauhar adalah ciptaan Allah SWT., jadi yang belum terjadi bukanlah sesuatu, sebab sesuatu yang baharu sebelum diciptakan belum dapat dikatakan sesuatu, belum bisa disebut jauhar ataupun ‘aradh. Oleh karena itu argumentasi Qadariyah tentang wujud sebelum terjadi , serta pendapat mereka yang menyebutkan bahwa Allah tidak menciptakan ‘aradh, hanya menciptakan jism yang berfungsi sebagai pencipta aradh tidak dapat diterima. Keliru pulah kaum Mu’tazilah dan filosof yang menambahkan bahwa jauhar dan ‘aradh sudah ada sebelum diciptakan, sehingga mereka mengakui atas “qadimnya alam”



e. Mengetahui bahwa Allah SWT bukan jism yang terdiri dari jauhar.

   Aswaja meyakini bahwa Allah, adalah pencipta jism dan ‘aradh karena Dia adalah pencipta segala sesuatu : (شـيئ كـل اللــه خـالق).
Dengan keyakinan ini, aswaja menganggap sesat sebagian golongan syi’ah yang berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah jauhar yang diciptakan, lalu menjelma menjadi Tuhan dikarenakan merasuknya ruh Tuhan kepadanya. Demikian juga halnya dengan ajaran hulul dan ittihad dari kalangan sufi. Sekiranya Tuhan sang pencipta alam adalah jism, tentu ada kemungkinan untuk “membenarkan” orang yang meyakini matahari dan bulan sebagai Tuhan.
f. Mengetahui bahwa Allah SWT bukan ‘aradh yang menentukan bentuk jisim dan Allah tidak bertempat di suatu tempat. Aswaja manafikan anggapan bahwa Tuhan mengambil ruang tempat  dan ruang waktu , juga bebas dari batasan waktu. Keyakinan ini menjadi alasan untuk menolak ajaran Karamiyah dan Hasyamiyah yang beranggapan bahwa sang pencipta duduk bersilah dan bersemayam di atas Arasy-Nya.
Bagi aswaja, “Allah istawa’ di atas Arasy¬-Nya” difahami, bahwa istawa’nya Tuhan sesuai dengan kagungan, kesucian dan kebesaran-Nya, yang berbeda dengan segala makhluk-Nya.

g. Mengetahui bahwa Allah SWT adalah suci dari sisi dan arah. Semua sisi dan arah; atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang, merupakan hal yang ada dan terjadi bagi makhluk bukan pada Khaliq.

h. Mengetahui bahwa Allah SWT. istawa’ di atas Arasy. (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) Pengertian istawa’ dikembalikan kepada apa yang dikehendaki Tuhan yang suci dari penyerupaan dengan makhluk-nya, pemilik keagungan dan kebsaran. Untuk memudahkan pemahaman orang awam, maka kata istawa’ diartikan dengan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi. (Al-Juwaini, Luma’ al-Adillah, 1965, hl. 95.)

i. Meyakini bahwa Allah SWT. Kelak akan dilihat nanti di hari kemudian (akhirat), di dalam surga. Hal ini di dasarkan pada firman Allah dalam Surat al-Qiyamah, 23 :

 
“Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.
Meyakini keEsaan Allah SWT, sesuai dengan firman-Nya dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti pada surat al-Ihlash (1-5); menurut Abdul Halim Mahmud, surat ini cukup menjadi dasar meyakinkan ketauhidan kepada Allh dan mensucikan-Nya dari penyerupan selain-Nya. (Abdul halim Mahmud, Al-Tafkir al-Falsafiy fi al-Islam, hl. 67).

Thanks for reading & sharing Mukholis

Previous
« Prev Post

0 comments:

Post a Comment