SISTEM PONDOK PESANTREN DAN KOMUNIKASI
PESANTREN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Makalah
Oleh.
M U K H O
L I S
BAB I
PENDAHULUAN
Kata pesantren bukanlah
suatu hal yang asing bagi kita, karena pesantern ini khususnya di pulau jawa
telah lama dan telah berpuluhan tahun berdiri seiring masuknya para wali ke
pulau jawa ini. Sampai sekarangpun kata pesantren masih terus menggema di
telinga kita sebagai pendidikan yang penekanannya terhadap ke agamaan yaitu
agama islam. Akan tetapi seiring berkembangnya peradapan yang menuntutnya untuk
menyesuainkan diri dengan lingkungan timbullah istilah yang disebut pesantren
salaf dan pesantren modern.
Kaitannya dengan itu
(modern dan salaf) timbullah sebuah metode atau system pengajaran diantara
keduanya yang sangat menuntut perbadaan. Pesantren salaf yang masih tetap pada
posisi semula masih menggunakan system pengajaran yang seperti semula pula.
Yakni murid yang menuntut ilmu dipesantren tersebut cendrung menerima apa
adanya dari pengasuh mereka. Atau dengan kata lain sebuah tranformasi keilmuan
yang disampaikan oleh pengasuh langsung bisa diterima oleh mereka tanpa ada
proses timbal balik dalam proses pengajaran tersebut. Akan tetapi pondok
pesantren yang mulai meniti pada peradaban yang sedang berkembang tidak berpaku
pada proses pengajaran tersebut. Mereka sudah mengetahui bagaimana proses
belajar mengajar yang sedang dipergunakan oleh sebagian besar instansi-instansi
keilmuan pada waktu itu.
Akan tetapi kami disini
tidak membahas hal tersebut secara mendalam. Yang jadi rumusan kami disini
seperti apa persepektif kita mengenai sistem pengajaran pondok pesantren salaf
tersebut ketika dikaitkan dengan teori-teori komunikasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Sistem Proses
Pengajaran Pesantren Salaf Sistem pengajaran dilingkungan pesantren salaf:
1. Sitem bandongan atau
seringkali disebut sistem weton. Dalam sistem ini
sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru/kyai yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku islam dalam bahasa arab. Setiap murid memperhatikan buku/kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya lingkaran murid, atau sekelompok santri yang
belajar dibawah bimbingan seroang guru.
sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru/kyai yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku islam dalam bahasa arab. Setiap murid memperhatikan buku/kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya lingkaran murid, atau sekelompok santri yang
belajar dibawah bimbingan seroang guru.
2. Sistem Sorogan, yaitu sistem
dimana seorang murid mendatangi guru yang
akan membacakan kitab-kitab berbahasa arab dan menerjemahkannya kedalam bahasa ibunya (mis: Jawa). Pada gilirannya murid mengulangi dan menerjemahkannya kata demi kata sepersis mungkin seperti apa yang diungkapkan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sademikian rupa agar murid mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian kalimatarab. Sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah
berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya.
akan membacakan kitab-kitab berbahasa arab dan menerjemahkannya kedalam bahasa ibunya (mis: Jawa). Pada gilirannya murid mengulangi dan menerjemahkannya kata demi kata sepersis mungkin seperti apa yang diungkapkan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sademikian rupa agar murid mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian kalimatarab. Sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah
berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya.
Sistem Sorogan inilah
yang dianggap fase yang tersulit dari systemkeseluruhan pengajaran pesantren, karena disana menuntut kesabaran,kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari sang murid sendiri. Disinibanyak murid yang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka harus memetangkan diri dalam metode tersebut sebelum dapat mengikuti sistem lainnya. Sebabpada dasarnya murid yang telah menguasai sistem sorogan inilah yang dapat memetik manfaat keilmuan dari sistem bandongan di pesantren. Sorogan memungkinkan sang kyai dapat membimbing, mengawasi, menilai kemampuanmurid. Ini sangat efektif guna mendorong peningkatan kualitas murid.
Kebanyakan pesantren,
terutama pesantren-pesantren besar menyelenggarakan bermacam-macam halaqoh
(kelas bandongan), mengajarkan mulai kitab-kitab elementer sampai tingkat
tinggi, yang diselenggarakan setiap hari (kecuali hari Jumat), dari pagi buta
setelah shalat shubuh sampai larut malam. Penyelenggaraan kelas bandongan dimungkinkan oleh suatu system yang berkembang di pesantren dimana kyai seringkali memerintahkan santri-santri senior untuk mengajar dalam halaqah. Santri senior yang mengajar ini mendapat titel ustad (guru). Para assatid
(guru-guru) ini dapat dikelompokan ke dalam kelompok yunior (ustad muda), dan yang senior, mereka menjadi anggota kelas musyawarah. Satu dua ustad senior yang sudah matangndengan mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kyai muda.
Dalam kelas musyawarah
sistem pembelajaran berbeda dengan sistem bandongan atau sorogan. Disini para
santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang di tunjuk. Kyai memmimpin sendiri kelas musyawarah seperti dalam forum seminar dan terkadang lebih banyak dalam bentuk Tanya jawab, biasanya
hampir seluruhnya diselenggaralkan dalam wacana kitab klasik. Wahana tersebut merupakan latihan bagi santri untuk menguji keterampilan dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab islam klasik.
hampir seluruhnya diselenggaralkan dalam wacana kitab klasik. Wahana tersebut merupakan latihan bagi santri untuk menguji keterampilan dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab islam klasik.
Dari narasi tadi
mudahlah untuk mengetahui bahwa dalam komplek pesantren, dari kyai (sebagai pimpinan tetinggi pesantren), kyai muda, asatid, santri senior, sampai santri yunior, tercipta suatu kelompok masyarakat yang berjenjang jenjang yang didasarkan pada kematangan dalam bidang pengetahuan. Pendekatan kedua dapat
ditelusuri melalui hubungan alamiah antara pesantren dan pengajian. Kebanyakan pesantren tumbuh, berkembang, dari embrio yang disebut pengajian. Dan banyak pula pesantren yang mati dan meninggalkan sisa-sisanya dalam bentuk pengajian pula. Nasib seperti ini dapat dilihat pada Pesantren kademangan di Bangkalan Madura, Pesantren Maskumambang di Gresik, dan pondok Pesantren Jamsaren di Surakarta.
Contoh pesantren yang
tumbuh dari lembaga pengajian ialah Pesantren Tebuireng, pesantren ini memulai kariernya dari pengajian yang diikuti oleh 8 murid. Dalam tempo 20 tahun, pengajian ini telah berkembang menjadi sebuah pesantren besar yang memiliki kurang lebih 200 santri. 10 tahun kemudian jumlah santri melonjak menjadi 2000 orang. Pesantren Ploso di Kediri bermula dari suatu pengajian dari 5 orang murid saja di tahun 1925.
Pada tahun-tahun permulaan tidak ada gedung pondok untuk santri; bahkan tinggal kyai sewa dari rumah penduduk . Konon isteri kyai pada waktu ituharus pula ikut menyokong ekonomi keluarga dengan menjual pecel. Setelah kerja keras selama 15 tahun, pengajian ini tumbuh menjadi lembaga pesanrten dengan jumlah santri sekitar 400 orang. Pendiri pesantren ini Kyai Jazuli meninggal tahun 1972, dan digantikan oleh anak tertuanya bernama Kyai Zaenuddin. Pada tahun 1978 jumlah santri Ploso menjadi sekitar 900 orang . Contoh lain perkembangan pesantren yang luar biasa adalah Pesantren Darussalam, Blok Agung Banyuwangi. Pesantren ini mula-mula hanya sebuah langgar yang luasnya tidak lebih dari 34 meter persegi yang memberikan pengajian kepada hanya 7 orang saja penduduk sekitar, yang umumnya sangat jauh dari mengenal ajaran-ajaran islam. Pada tahun 1977 setelah berjalan 25 tahun, pesantren Darusalam merupakan salah satu pesantren terbesar dengan jumlah santri tiga ribu seratus tujuh puluh tujuh orang
Pada tahun-tahun permulaan tidak ada gedung pondok untuk santri; bahkan tinggal kyai sewa dari rumah penduduk . Konon isteri kyai pada waktu ituharus pula ikut menyokong ekonomi keluarga dengan menjual pecel. Setelah kerja keras selama 15 tahun, pengajian ini tumbuh menjadi lembaga pesanrten dengan jumlah santri sekitar 400 orang. Pendiri pesantren ini Kyai Jazuli meninggal tahun 1972, dan digantikan oleh anak tertuanya bernama Kyai Zaenuddin. Pada tahun 1978 jumlah santri Ploso menjadi sekitar 900 orang . Contoh lain perkembangan pesantren yang luar biasa adalah Pesantren Darussalam, Blok Agung Banyuwangi. Pesantren ini mula-mula hanya sebuah langgar yang luasnya tidak lebih dari 34 meter persegi yang memberikan pengajian kepada hanya 7 orang saja penduduk sekitar, yang umumnya sangat jauh dari mengenal ajaran-ajaran islam. Pada tahun 1977 setelah berjalan 25 tahun, pesantren Darusalam merupakan salah satu pesantren terbesar dengan jumlah santri tiga ribu seratus tujuh puluh tujuh orang
Diadopsinya sistem
sekolah/madrasah di banyak pesantren Indonesia dewasa ini merupakan respon pesantren terhadap perubahan sosial, adaptasi terhadap ekspansi sistem pendidikan modern yang di bawa oleh kolonial Belanda. Proses ini tidak terjadi tiba-tiba akan tetapi melalui proses panjang.
Beberapa pesantren
mengambil manfaat dari sistem baru tersebut. Misalnya adanya kurikulum yang lebih sistematis, penjenjangan, dan system klasikal mulai dilirik dunia pesantren. Di beberapa daerah pendirian sekolah dilingkungan pesantren berguna menjaga kontinuitas pesantren itu sendiri.
Dalam kaitan ini
pesantren Manbaul Ulum di Surakarta termasuk yang merintis pertama kali bagi penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam pesantren. Pesantren ini didirikan
oleh Pakubuwono pada tahun 1906. Menurut catatan Belanda pada tahun tersebut Pesantren Manbaul Ulum telah memasukan mata pelajaran membaca (tulisan latin), al-Jabar, dan berhitung. Rintisan tersebut diikuti kemudian oleh pesantren lainnya misalnya Pesantren Tebuireng pada tahun 1916 mendirikan sebuah Madrasah Salafiyah yang tidak
hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukan beberapa pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa melayu, ilmu bumi, menulis dengan hurup latin kedalam kurikulumnya. Model ini kemudian banyak dijadikan referensi oleh pesantren lainnya. Seperti Pesantren Rejoso di Jombang yang
mendirikan madrasah pada tahun 1927.
hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukan beberapa pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa melayu, ilmu bumi, menulis dengan hurup latin kedalam kurikulumnya. Model ini kemudian banyak dijadikan referensi oleh pesantren lainnya. Seperti Pesantren Rejoso di Jombang yang
mendirikan madrasah pada tahun 1927.
Respon yang sama dengan
nuansa baru terlihat pada pengalaman PesantrenGontor. Pada tahun 1926 Gontor berdiri. Pesantren ini selain memakai mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya mempelajari bahasa Inggris disamping bahasa Arab, serta di adakan pelajaran ekstra kulikuler seperti Olah raga dan Kesenian.
Beberapa pesantren
bergerak lebih maju hubungannya daengan gagasan kemandirian santri setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Beberapa pesantren memperkenalkan semacam kegiatan latihan keterampialan (vocational) dalam sistem pendidikannya. Salah satu organisasi yang memberi
penekanan vocational tadi antara lain Persarikatan Ulama di Jawa Barat. Organisasi ini memperkenalkan pendirian sebuah lembaga yang disebut Santri Asrama pada tahun 1932 yang dipimpin oleh Haji Abdul Halim.
penekanan vocational tadi antara lain Persarikatan Ulama di Jawa Barat. Organisasi ini memperkenalkan pendirian sebuah lembaga yang disebut Santri Asrama pada tahun 1932 yang dipimpin oleh Haji Abdul Halim.
Pada pasca kemerdekaan
walaupun situasi masyarakat masih dalam keadaan sulit, jumlah santri-santri terus bertambah. pesantren-pesantren besar semakin banyak menyedot minat para santri, tidak hanya datang dari sekitarwilayah dilingkungan pesantren, namun juga dari luar Jawa. Diantaranya dialamai oleh pesantren Tebuireng, Pesantren Lirboyo, pesantren tambak beras
dan pesantrengontor
Dalam penelitian yang
dilakukan Depag RI pada tahun 1955, mencatan ada
30.368 pesantren, dengan santri berjumlah 1.392.159 orang . Sebagai bandingan pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren sebanyak 32.000 buah dengan jumlah santri sekitar 2.000.000 orang. Angka-angka ini menunjukan perkembangan yang signifikan walau pada kurun waktu tersebut pesantren berada dalam posisi strata bawah dari system lembaga pendidikan yang ada. Lebih jauh pesantren tidak hanya berhenti dengan eksperimen madrasah seperti mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah, atau Madrasah Aliyah (MA). Beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan umum yang berada di bawah Depdikbud (Kini Depdiknas). Di antara pesantren yang dapat dikategorikan perintis dalam eksperimen ini ialah Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, yang pada September 196 mendirikan Universitas Darul Ulum yang terdaftar di Kantor P&K. Universitas ini memiliki 5 fakultas dan hanya ada 1 fakultas agama Islam. Pesantrenlain yang menempuh cara ini adalah pesantren Miftahul Mu'alimin Babakan Ciwaringin Jawa Barat yang mendirikan STM. Dalam masa-masa lebih belakang sistem pengembangan sekolah/madrasaha di pesantren dilakukan oleh semakin banyak pesantren. Sehingga banyak mengundang kehawatiran banyak kalangan internal pesantren sendiri terhadap gejala tersebut, terutama bagi orang yang ingin mempertahankan identitas pesantren sebagai lembaga tafaquh fi al-din, yang menciptakan calon-calon ulama, bukan untuk kepentingan-kepentingan lain, semacam pengisian lapangan kerja.
30.368 pesantren, dengan santri berjumlah 1.392.159 orang . Sebagai bandingan pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren sebanyak 32.000 buah dengan jumlah santri sekitar 2.000.000 orang. Angka-angka ini menunjukan perkembangan yang signifikan walau pada kurun waktu tersebut pesantren berada dalam posisi strata bawah dari system lembaga pendidikan yang ada. Lebih jauh pesantren tidak hanya berhenti dengan eksperimen madrasah seperti mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah, atau Madrasah Aliyah (MA). Beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan umum yang berada di bawah Depdikbud (Kini Depdiknas). Di antara pesantren yang dapat dikategorikan perintis dalam eksperimen ini ialah Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, yang pada September 196 mendirikan Universitas Darul Ulum yang terdaftar di Kantor P&K. Universitas ini memiliki 5 fakultas dan hanya ada 1 fakultas agama Islam. Pesantrenlain yang menempuh cara ini adalah pesantren Miftahul Mu'alimin Babakan Ciwaringin Jawa Barat yang mendirikan STM. Dalam masa-masa lebih belakang sistem pengembangan sekolah/madrasaha di pesantren dilakukan oleh semakin banyak pesantren. Sehingga banyak mengundang kehawatiran banyak kalangan internal pesantren sendiri terhadap gejala tersebut, terutama bagi orang yang ingin mempertahankan identitas pesantren sebagai lembaga tafaquh fi al-din, yang menciptakan calon-calon ulama, bukan untuk kepentingan-kepentingan lain, semacam pengisian lapangan kerja.
B. Analisis Teori Komunikasi
Publik (Large-Group Communication)
Komunikasi
publik (public communication) adalah komunikasi antara seseorang pembicara
dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang tidak bisa dikenali satu persatu.
Komunikasi demikian sering juga disebut pidato, ceramah, atau kuliah (umum).
Tablig akbar yang sering disampaikan pendakwah kondang KH. Zainuddin MZ adalah
contoh komunikasi publik yang paling kena. Beberapa pakar komunikasi
menggunakan istilah komunikasi kelompok-besar (large-group communication) untuk
komunikasi ini.
Komunikasi
publik biasanya berlangsung lebih formal dan lebih sulit daripada komunikasi
antarpribadi atau komunikasi kelompok. Karena komunikasi publik menuntut
persiapan pesan yang cermat, keberanian dan kemampuan menghadapi sejumlah besar
orang. Daya tarik fisik pembicara bahkan sering merupakan faktor penting yang
menentukan efektifitas pesan, selain keahlian dan kejujuran yang dimiliki
seorang pembicara. Tak seperi komunikasi antarpribadi yang melibatkan
pihak-pihak yang sama aktif, satu pihak (pendengar) dalam komunikasi publik
cendrung pasif. Umpan balik yang mereka berikan terbatas, terutama umpan balik
bersifat verbal. Umpan balik non verbal lebih jelas diberikan orang-orang yang
berada dijajaran paling depan karena merekalah yang paling jelas terlihat.
Sesekali pembicara menerima umpan balik bersifat serempak, seperti tertawa atau
tepuk tangan.
Beberapa
ciri komunikasi publik adalah
1. Terjadi ditempat umum
(publik), misalnya di auditorium, kelas, tempat ibadah, atau tempat lain yang
dihadiri oleh sebagian banyak orang
2. Merupakan peristiwa social
yang biasanya telah direncanakan alih-alih peristiwa relatif informal yang
tidak terstruktur, terdapat agenda, beberapa orang ditunjuk untuk menjalankan
fungsi-fungsi khusus, seperti memperkenalkan pembicara dan sebagainya.
Yang
perlu ditekankan dan penting diketahui adalah bahwa komunikasi publik sering
bertujuan memberikan penerangan, menghibur, member\ikan penghormatan atau
membujuk.
Kuailitas
yang membedakan komunikasi publik dengan komunikasi interpersonal dan kelompok
kecil (small group) adalah sebagai berikut:
1. Komunikasi publik berorentasi
kepada si pembicara atau sumber. Sedangkan pada komunikasi interpersonal dan
kelompok kecil terdapat hubungan timbal balik diantara si pembicara dengan
sipenerima yang terlibat
2. Pada komunikasi publik
melibatkan sejumlah besar penerima. Tetapi pada komunikasi interpersonal
biasanya Cuma melibatkan dua orang dan kelompok kecil tidak lebih dari lima
sampai tujuh orang penerima. Pesan komunikasi publik dimaksudkan untuk menarik
banyak orang
3. Pada komunikasi publik kurang
terdapat interaksi antara si pembicara dan si pendengar. Hal ini menjadikan
kurangnya interaksi secara langsung antara si pembicara dengan si pendengar
lebih-lebih jika pendengarnya semakin banyak.
4. Bahasa yang disampaikan dalam
komunikasi publik lebih umum supaya dapat dipahami oleh pendengar, biasanya
sebelum presentasi si pembicara telah mengetahui tipe khusus dari si pendengar.
C. Hubungan Antara Teori
Komunikasi Publik Dengan Sistem Pengajaran Di Pndok Pesantren Salaf
Sebagaimana
telah diuraikan diatas mengenai system pengajaran di pondok pesantren salaf
yang penekanannya terhadap sistem slogan dan weton. Dari dua system ini dapat
diambil kesimpulan bahwa yang mendominasi proses komunikasi disitu atau
tranformasi pesan yang berupa pengetahuan itu adalah sang pengasuh
(komunikator), sedangkan para santri hanya bisa mendengarkan apa yang
disampaikan oleh sang pengasuh tersebut. Ketika terjadi proses yang seperti ini
secara otomatis tidak akan ada proses timbal balik dari santri (komunikan) yang
secara verbal. Secara non verbal mungkin bisa terjadi akan tetapi hal itu Cuma
pada pendengar yang ada pada posisi yang bisa jangkau oleh sang pembicara
(pengasuh) mengingat jumlah santri yang mengikuti proses pengajaran tersebut
sangat banyak. Ini ketika kita lihat pada sisi interaksi dalam proses tersebut.
Ketika
kita lihat dari segi tempat dimana berlangsungnya proses pengajaran pesantren
tersebut, kebanyakan terjadi di tempat umum seperti halnya didalam masjid. Dan
tidak dipungkiri lagi bahwa peserta atau pendengar yang dalam hal ini santri
yang terlibat dalam proses tersebut sangat banyak.
Ketika
kita mencoba menghubung dengan komunikasi publik proses yang seperti ini
sangatlah sesuai sekali. Karena komunikasi publik adalah komunikasi yang melibatkan
pendengar atau komunikan yang sangat banyak. Hal inilah yang menjadikan
timbulnya istilah komunikasi publik (large group) dalam teori komunikasi.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian kami diatas
mengenai sistem pengajaran dalam pondok pesantren salaf dengan teori komunikasi
publik dapat disimpulkan bahwa sistem tersebut merupakan fenomena yang sesuai
dengan teori komunikasi publik, dengan kata lain proses penyampain pesan yang
terjadi dalam lingkungan pesantren salaf antara pengasuh dan santrinya dalam pentransferan
ilmu merupakan contoh dari teori komunikasi publik (large group).
Hal ini dapat dilihat
dari proses tersebut yang cendrung seperti ceramah tapi penyampainnya secara
sistematis. Dalam proses tersebut juga melibatkan sebagian besar atau banyak pendengar
yang menimbulkan sulitnya adanya timbal balik. Dan kaetika melibatkan banyak
orang atau pendengar pastinya proses tersebut terjadi ditempat umum. Selain itu
juga bisa dilihat dari siapa yang lebih mendominasi dalam proses berlangsungnya
komunikasi tersebut. Dalam hal ini yang mendominasi adalah pembicara atau
komunikator (pengasuh).
DAFTAR RUJUKAN
Muhammad Arni, Komunikasi Organisasi, 1995,
BUMI AKSARA: Jakarta
Mulyana Deddy, Ilmu Komunikasi; Suatu
Pengantar, 2005, PT. REMAJA ROSDAKARYA: Bandung
Thanks for reading & sharing Mukholis
mohon jngn ksh link aktf
ReplyDeleteitu namanya iklan blog agar blognya di kenal orang lain...
ReplyDeletearifin. apakah tdk mengganggu blog jika ada link aktif
ReplyDeleteajips
ReplyDeleteoke sma2 jngna lupa follwing back di blogku sering2
ReplyDeletehttp://arifinsaputra.blogspot.com/2013/11/cara-pasang-wiget-jam-online-loadding.html
ReplyDeleteokehhh
Delete