Home » , » TAFSIR AYAT AYAT CINTA, UNISNU, STAIN KUDUS, IAIN

TAFSIR AYAT AYAT CINTA, UNISNU, STAIN KUDUS, IAIN

TAFSIR AYAT AYAT CINTA
Oleh: Ahmad Saerozi, S.Ud.*


   Sekilas Tentang Cinta

Makna cinta itu masih diperselisihkan, hal ini karena cinta tidak dapat dideteksi kecuali melalui gejala psikologis, sifat, perilaku, dan pengaruh yang diakibatkan pada diri seseorang yang mengalaminya. Menurut kamus bahasa Indonesia kata cinta sendiri mempunya arti kasih sayang, suka sekali, dan sayang sekali.
Cinta adalah kecenderungan watak pada sesuatu karena sesuatu tersebut terasa nikmat baginya. Sedangkan benci adalah menjauhnya perasaan dari suatu hal karena ia tidak cocok dengan hal tersebut. Semakin bertambah kenikmatan yang dirasakan, maka perasaan cinta akan semakin mendalam. Kenikmatan mata terletak pada penglihatannya. Kenikmatan telinga terletak pada pendengarannya. Kenikmatan alat penciuman terletak pada terciumnya bau yang baik. Demikian pula dengan seluruh panca indera lainnya, jika merasakan kenikmatan yang sesuai dengannya, maka ia pun akan mencintainya.
Sedangkan menurut sebagian kaum sufi, cinta adalah dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah. Semua keadaan dan peringkat yang dialami oleh salik adalah tingkat-tingkat cinta kepada-Nya, dan semua maqam dapat mengalami kehancuran, kecuali cinta. Ia tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri. 
Nabi Saw. bersabda:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Ditanamkan rasa cinta kepadaku terhadap tiga hal dari dunia kalian, yaitu wewangian, wanita dan ketenangan batinku dalam shalat.”(Ahmad bin Hambal: Musnad Ahmad, hal. 305)
Hadis ini menjelaskan bahwa di balik sesuatu yang dapat dirasa oleh lima panca indera, ada pula hal lain yang dapat dicintai dan dinikmati kelezatannya, yaitu kegiatan shalat yang kelezatannya tidak dapat dirasakan oleh lima panca indera yang ada.
Dengan demikian, penglihatan mata batin lebih kuat daripada penglihatan lahir, dan pandangan hati lebih kuat daripada penglihatan mata. Keindahan makna yang dinalar dengan akan lebih dahsyat dan lebih sempurna daripada keindahan bentuk yang tampak secara lahir. Dari sini dapat dipastikan bahwa masalah-masalah ketuhanan kelezatannya dapat dirasakan oleh hati secara lebih sempurna dan mendalam dibandingkan yang dirasakan oleh hati secara lebih sempurna dan mendalam dibandingkan yang dirasakan oleh panca indera, sehingga kecenderungan watak yang sehat pada kelezatan tersebut menjadi lebih kuat. Cinta tidak bermakna kecuali dengan munculnya kecenderungan pada sesuatu yang terasa nikmat.
Dengan demikian, tidak ada yang mengingkari kenikmatan cinta kepada Allah SWT kecuali orang yang terhalang oleh berbagai keterbatasan sampai setingkat dengan level binatang sehingga panca inderanya tidak berfungsi dengan baik sama sekali.
Mencintai Nabi Saw., para sahabatnya, dan para alim ulama adalah sesuatu yang mungkin, walaupun rasa cinta ini tidak dapat diindera dan tidak dapat dirasa oleh kelima panca indera. Jadi, ketika sesuatu sudah tidak dapat diindera, maka untuk mengetahuinya dapat menggunakan mata hati. Jika hal ini sudah ketetapan, maka tidak ada yang berhak untuk dicintai selain Allah SWT, karena Dialah Sang Pencipta dan Pemberi Anugerah untuk fitrah asal. Dia pula penyebab kekekalan, keabadian dan kedamaian. Dengan demikian, dalam kondisi apa pun Dialah Dzat yang berbuat baik. Dialah Dzat yang indah dan baik di mana segala keindahan dan kebaikan berasal dari pancaran wujud-Nya.
Barangsiapa yang mencintai para nabi, sahabat, dan para imam dikarenakan kebersatuan mereka, maka ia berada dalam kebaikan karena segala kebaikan berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Dialah yang mempunyai keindahan, dimana segala keindahan terpancar dari-Nya. Engkau sudah mengetahui segala hal yang indah pasti akan dicintai, dan engkau juga mengetahui bahwa ada manusia-manusia khusus yang mungkin bisa menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji sehingga dikatakan, “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.” Dalam batin manusia ada hakikat yang diciptakan Allah SWT dalam hati sebagai watak, yang disebut dengan cahaya Ilahi. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT.
أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang Telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (Q.S. az-Zumar: 22).
Watak inilah yang dapat merasakan indahnya kehadiran Tuhan sesuai dengan ukuran kematiannya. Jika keindahan sudah dicintai, maka di dunia ini tidak ada lagi yang lebih tinggi, lebih luhur, lebih mulia dan lebih sempurna, selain dari keindahan anugerah-Nya. Seberapa dalam ia merasdakan keindahan tersebut, maka sebesar itulah nikmat yang ia rasakan. Dan seberapa besar nikmat yang dirasakan, maka sedalam itulah cintanya.
Menurut hadis Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat danmenyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu) kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa `abduhu).
Kata Nabi juga, ciri dari cinta sejati ada tiga:
1.    Lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain.
2.    Lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain.
3.    Lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri. (Abu Hamid al-Ghazali: 331)
Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Allah SWT, maka ia lebih suka berbicara dengan Allah Swt, dengan membaca firman-Nya, lebih suka bercengkerama dengan Allah SWT dalam i`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Allah SWT daripada perintah yang lain.

B.  Makna Cinta dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an banyak kata yang menunjukkan kata cinta (hubb) dengan berbagai derivasinya, baik yang berupa verbal maupun nominal, baik yang berupa plural maupun singular. Tercatat sekitar 100 kata yang berasal dari kata dasar   ود, حبّ maupun lainnya (Muhammad Sidqi al-‘Athar, Mu’jam Mufahras li al-Fazh al-Qur’an). Berikut beberapa macam cinta yang disebut oleh al-Qur’an dan penjelasannya.
1.    Cinta Mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan “nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.
2.    Cinta Rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al-arham, dzawi al-arham, yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari kasih sayang ibu.
3.    Cinta Mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al-Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al-mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.
4.    Cinta Syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al-Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
5.    Cinta Ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al-Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta rafah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).
6.    Cinta Shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al-jahilin (Q/12:33)
7.    Cinta Syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan al- Qur’an. Dalam surat al-Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barang siapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhika wa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu. Menurut Ibn al-Qayyim dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al-Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi qalb al muhibbi.
8.    Cinta Kulfah, yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286).


C.  Beberapa Contoh Ayat Tentang Cinta
Berikut contoh beberapa ayat yang membicarakan tentang cinta:
1.    Q.S. Ali Imran: 31-32
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
                Dalam suatu riwayat dikatakan, ayat ini turun menanggapi ucapan kaum muslimin yang mengaku cinta kepada Allah. Katakanlah wahai Nabi Muhammad kepada mereka yang merasa mencintai Allah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku”, yakni laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah melalui aku, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bertaqwa kepada-Nya. Jika itu kamu laksanakan, maka kamu telah masuk ke pintu gerbang meraih cinta Allah, dan jika kamu memelihara kesinambungan ketaatan kepadanya serta meningkatkan pengamalan kewajiban dengan melaksanakan sunnah-sunnah Nabi, niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Semua itu karena Allah Maha Pengampun terhadap siapapun yang mengikuti Rasul, lagi Maha Penyayang. (Jalaluddin as-Suyuthi: 41)
            Memang, mengikuti Rasul Saw. dalam hal-hal yang sifatnya wajib, baru mengantarkan seseorang memasuki pintu gerbang cinta sejati kepada Allah. Kalaupun mengikuti Rasul dalam batas minimal ini sudah akan dinamai cinta, maka dia adalah tangga pertama dari cinta.
            Mengikuti Rasul mempunyai tingkatan-tingkatan, mengikuti dalam amalan wajib, selanjutnya mengikuti dalam amalan sunnah muakkadah, selanjutnya dalam sunnah ghairu muakkadah, dan mengikuti beliau bahkan dalam kebiasaan keseharian walaupun bukan merupakan ajaran agama. Mengikuti dalam memilih model dan warna alas kaki bukanlah bagian dari ajaran agama, tetapi bila itu dilakukan demi cinta dan keteladanan kepada beliau, amka Allah tidak akan membiarkan seseorang yang cinta kepada Nabi-Nya bertepuk sebelah tangan.
            Cinta manusia kepada Allah merupakan suatu kualitas yang mengejawantah pada diri seseorang yang beriman sehingga menghasilkan ketaatan kepada-Nya. Dengan demikian dia mementingkan-Nya dari selain-Nya. Al-Qusyairi melukiskan cinta pada Allah (mahabbah) sebagai “mementingkan kekasih dari sahabat”, maksudnya mementingkan hal-hal yang diridhai kekasih (dalam hal ini Allah) daripada kepentingan ego, jika kepentingan tersebut bertentangan dengan ketentuan Allah.
            Ketika ditanya tentang siapa yang wajar disebut pecinta Allah, al-Junaid menjawab: “Ia adalah yang tidak menoleh kepada dirinya lagi, selalu dalam hubungan intim dengan Tuhan melalui zikir, senantiasa menunaikan hak-hak-Nya, memandang kepada-Nya dengan mata hati, terbakar hatinya oleh sinar hakikat Ilahi, maka tatkala berucap, dengan Allah ia, tatkala berbicara, demia Allah ia, tatkala bergerak atas perintah Allah ia, tatkala diam, bersama Allah ia. Sungguh, dengan, demi, dan bersama Allah selalui ia”.
            Cinta – terhadap siapapun – bertingkat dan beragam. Ada cinta yang cepat perolehannya, cepat pula layunya. Ada yang sebaliknya, lambat perolehannya dan la,bat pula layunya. Ada juga yang cepat tapi lambat layunya. Ini pun ada sebaliknya. Yang terbaik adalah cinta yang cepat dan langgeng. Tingkat cinta pun beragam. Ada yang menjadikan sang pecinta larut dalam cinta, sehingga terpaku dan terpukau bahkan tidak lagi menyadari keadaan sekelilingnya karena yang dirasakan serta terlihat olehnya hanya sang kekasih. Ada juga cinta hanya sekedarnya, bahkan dapat layu atau tidak mampu menahan rayuan pihak lain atau godaannya. Cinta diukur pada saat terjadi dua kepentingan yang berbeda. Ketika itu, kepentingan apa dan atau siapa yang dipilih, maka itulah objek yang lebih dicintainya.
            Cinta Allah dan Rasul tidak harus dipertentangkan dengan cinta kepada dunia dengan segala kemegahannya. Bisa saja seseorang tetap taat atau cinta kepada-Nya, dan pada saat yang sama ia berusaha sekuat tenaga untuk meraih sebanyak mungkin gemerlap duniawi, karena mencintai yang ini pun merupakan naluri manusia.
            Suatu ketika dapat terjadi dua objek cinta yang berbeda itu, yakni kesenangan hidup dunia dan cinta pada Allah, berhadapan dan harus dipilih salah satunya. Katakanlah memilih shalat pada waktunya atau keuntungan materi. Jika memenuhi panggilan shalat, maka keuntungan materi hilang. Jika keuntungan materi diraih, shalat yang hilang. Di sini cinta teruji, yang mana yang dipilih itulah yang lebih dominan.
            Dengan kata lain, ayat 31 surat Ali Imran di atas, menginformasikan bahwa cinta itu butuh pengorbanan, seseorang yang mengaku cinta pada Allah maka harus berkorban mau mengikuti perintah dan apa yang dilakukan Nabi. Pengungkapan rasa cinta tapi tidak mau berkorban yang dalam konteks ini berarti mengikuti perintah Nabi, maka cinta tersebut dikatakan cinta palsu. (M. Ali as-Shabuni: J. 1, 178).
Hal ini juga berlaku untuk mencintai selain Allah, orang mengaku cinta ilmu, maka harus berkorban untuk ilmu, harus memperbanyak belajar dan muthala’ah beberapa buku dan kitab. Begitu juga orang yang cinta kepada sesama juga berani berkorban untuk segala hal demi orang yang dicintainya.
            Sementara itu, ayat ke 32 surat Ali Imran ini masih berkaitan erat dengan ayat sebelumnya (31), yang mengajak cinta kepada Allah dan Rasul-nya. Tidak diragukan bahwa peringkat mengikuti dan meneladani Nabi yang mengantar kepada cinta Allah adalah suatu peringkat yang tidak mudah diraih, maka ayat ini mengajak kepada tingkat yang lebih rendah, seakan-akan al-Qur’an berpesan: “Kalau anda tidak dapat mengikuti dan meneladani beliau sehingga mencapai tingkat cinta, amka paling tidak taatilah beliau dengan mengerjakan apa yang beliau wajibkan atas nama Allah, dan jauhilah apa yang beliau haramkan atas nama Allah. Kalau ini pun kalian tolak dengan berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” 
            Ayat di atas tidak mengulangi perintah taat taat kepada Rasul. Ini agaknya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ketaatan serta cinta kepada Allah dibuktikan oleh ketaatan dan kecintaan kepada Rasul. Karena perintah Rasul pada hakikatnya sama dengan perintah Allah, sebab perintah beliau bersumber dari Yang Maha Kuasa itu.
            Terkait dengan masalah cinta kepada Rasul  alangkah baiknya jika kita menelaah cerita salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Umar.  Dia adalah seorang yang dijuluki mutsabir (kuat pendiriannya) dan awwab (banyak bertaubat). Dia meniru apa saja yang dilakukan Nabi, semisal saat Nabi bepergian lalu beristirahat sejenak di suatu tempat untuk shalat, diapun saat bepergian melewati jalan yang sama dengan Nabi berhenti di tempat yang sama untuk melaksanakan apa yang dilakukan oleh Nabi baik doa, shalat, maupun lainnya karena kecintaannya pada Nabi. Sampai-sampai Aisyah mengatakan: “Tidak ada seorangpun yang mengikuti jejak-jejak peristirahatan Nabi sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar.
            Di samping itu, karakternya yaitu mudah menangis jika dibacakan ayat tentang adzab. Dia adalah seorang yang juga dermawan, zuhud dan wira’i terhadap dunia. Rasa cintanya hanya ditujukan pada Rasul bukan pada dunia.
            Di antara sifat kedermawanannya adalah suatu hari Ayyub bin Wail melihat bahwa dia (Ibnu Umar) mempunyai uang empat ribu dirham – konon  uang tersebut dari Baitul mal, karena dia digaji, namun gajinya tidak pernah dimakannya sendiri, namun selalu dibagi-bagikan untuk kaum fakir miskin dan pengemis – namun pada esok harinya, ayyub melihatnya di pasar membeli makanan kudanya dengan menghutang. Akhirnya Ayyub tanya pada keluarga Ibnu Umar: “Bukankah Ibnu Umar kemarin punya uang 4000 dirham dan juga pakaian sutera?”  Mereka menjawab: ya, mempunyai. Lalu Ayyub berkata lagi: “Baru saja Aku melihatnya di pasar membeli makanan untuk kudanya dengan berhutang”. Mereka menjawab: “Oh,, dia sudah membagikan semua hartanya, kemudian pakaiannya dibawa namun di tengah jalan diberikannya pada orang fakir”. Akhirnya Ayyub pergi ke pasar lagi dengan perasaan kagum yerhadap sifat Ibnu Umar yang tidak suka sama sekali terhadap dunia. Sesampainya di pasar di naik ke tempat yang tinggi dan berkata dengan lantang: “Hai para pedagang, Bagaimana sikap kalian terhadap dunia, Ibnu Umar yang diberi uang (baitul mal) beberapa dirham langsung dibagikan semua, sampai-sampai pada esok hari dia harus hutang demi membeli makanan hewannya?”.
            Kezuhudannya terhadap dunia tidak perlu disangsikan lagi. Saat khalifah Usman bin Affan terbunuh, banyak sahabat yang berkata padanya: “Engkaulah pemimpin kami, karena bapakmu dulu adalah pemimpin, keluarlah dari rumahmu niscaya akan kami bai’at kamu di hadapan banyak orang”. Namun Ibnu Umar mengatakan: “Demi Allah, Saya tidak mampu”. Mereka mengatakan: “Sungguh keluarlah kamu atau akan kami bunuh kamu di sini. Semakin mereka memaksa Ibnu Umar tetap berpegang teguh dengan pendiriannya untuk tidak menerima jabatan dan dibai’at menjadi pemimpin. (Khalid Muhammad: 68).
Subhanallah, itulah kisah dari salah seorang sahabat Nabi yang juga termasuk salah seorang yang banyak meriwayatkan hadis, yaitu Abdullah bin Umar semoga kita bisa meneladaninya.   
2.    Q.S. Ali Imran: 14-15
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ (14) قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: "Inginkah Aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?". untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya. (Q.S. Ali Imran: 14-15).
            Dalam redaksi ayat di atas, yang dijadikan indah adalah kecintaan, bukan hal-hal yang akan disebutnya. Bisa jadi ada di antara apa yang disebut dalam rinciannya itu bukan merupakan dorongan hati yang sulit atau tidak terbendung. Tetapi kalau dia telah dicintai oleh seseorang, maka ketika itu ia menjadi sulit atau tidak terbendung.
            Hal-hal yang dicintai adalah keinginan terhadap wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Apakah lelaki dan anak wanita tidak dicintai oleh manusia, atau kata manusia pada ayat ini khusus pria? Tidak dapat disangkal, bahwa manusia yang dimaksud oleh ayat ini adalah semua putra-putri Adam apalagi yang dewasa baik pria maupun wanita. Jika demikian, adalah semakin pada tempatnya pertanyaan di atas.
            Ada 2 jawaban yang dapat dikemukakan sebagai sebab tidak disebutkannya lelaki dan anak-anak perempuan. Pertama, ayat ini enggan mencatat secara eksplisit syahwat wanita terhadap pria, demi memelihara kehalusan perasaan wanita. Di sisi lain, ayat ini menyebutkan anak laki-laki, tidak anak perempuan, karena keadaan masyarakat ketika itu masih sangat mendambakan anak lelaki dan tidak menyambut baik anak wanita. Masyarakat Arab Jahiliyah memandang wanita sebagai aib.
            Jawaban kedua berkaitan dengan gaya bahasa al-Qur’an yang cenderung mempersingkat uraian. Misalnya, jika ada kata yang menunuk satu sifat yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh wanita, maka kata tersebut tidak lagi memerlukan tambahan tanda untuk menunjukkan bahwa pelakunya adalah wanita.
            Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ada enam hal yang dicintai manusia, yaitu: 1) lawan seks, 2) anak, 3) emas dan perak yang banyak, 4) kuda pilihan, 5) binatang ternak, dan 6) sawah ladang. Sedangkan dalam ayat berikutnya hanya ada 3, yaitu: 1) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, 2) pasangan yang disucikan, dan 3) ridha Allah.
            Kalaulah pasangan yang suci diperhadapkan dengan lawan seks, maka emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak, serta sawah dan ladang diperhadapkan dengan apa? Apa gantinya di surga sana?. (M. Quraish Shihab: 26)
            Asy-Sya’rawi menjawab, bahwa rezeki yang merupakan sesuatu yang dapat dimanfaatkan sangat beraneka ragam, itu ada yang dapat dimanfaatkan secara langsung dan ada yang hanya merupakan sarana untuk memperoleh manfaat. Uang, emas dan perak itu tidak ada artinya apabila kita tersesat, karena semua itu merupakan alat untuk memperoleh rezeki. Di surga, kita tidak perlu berusaha, apa yang kita inginkan langsung Dia anugerahkan. Nah, jika keadaannya demikian makasudah tidak memerlukan emas, perak, kuda pilihan dan lain-lain karena semua itu adalah rezeki yang tidak langsung. Rezeki yang dapat dimanfaatkan secara langsung tersebut diperuntukkan bagi orang yang bertakwa. (Mutawalli Sya’rawi: 927)
            Cinta terhadap apapun dan siapapun merupakan kesenangan dunia tapi bila dihiasi dengan taqwa terhadap Allah SWT maka cinta merupakan anugerah Ilahi Rabbi, merupakan sesuatu yang suci. Oleh karena itu cinta yang tertinggi adalah cinta kepada Allah, yaitu dengan mengikuti ajaran (risalah) Nabi Muhammad Saw. dan melaksanakannya dalam kehidupan manusia. Apa yang diperintahkan oleh Allah, ia kerjakan, dan apa yang dilarang Allah, ia tinggalkan – sebagaimana S. Ali Imran ayat 31-32-,   Berarti ia menjadikan tujuan akhir dari semua aktifitasnya adalah Allah SWT.
            Dalam debuah hadisnya Nabi bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kamu sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya.” (Muhammad bin Ismail al-Bukhari: 21).
Kata saudara ini bisa dimaknai dengan persaudaraan secara umum yang meliputi orang yang kafir dan yang muslim (meskipun ada beberapa ulama yang menjelaskan kata saudara dengan saudara yang Islam). Maka, ia mencintai untuk saudaranya yang kafir apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri seperti masuk Islam, sebagaimana ia mencintai untuk saudara muslimnya keadaannya yang lestari memeluk agama Islam. (Ismail bin Muhammad al-Anshari: 42)
Hadis ini menunjukkan penafian keimanan yang sempurna dari orang yang tidak mencintai untuk saudaranya apa yang disintainya untuk dirinya sendiri. Yang dimaksud dengan mencintai adalah menginginkan kebaikan dan kemanfatan. Jika ia tidak suka kalau uangnya dicuri oleh orang lain, maka ia juga tidak akan mencuri uang orang lain. Jika ia tidak suka kalau ibu, anak perempuannya, atau saudara perempuannya di zinai orang, maka ia tidak akan berzina dengan orang lain karena yang dizinai tersebut pasti ibu, anak perempuan, atau saudara perempuan orang lain. Kemudian bisa juga yang dimaksud adalah kecintaan dalam agama, bukan kecintaan sebagai sesama manusia.
Tapi fakta telah berkata lain. Manusia mencuri atas dasar cinta terhadap keluarganya dengan merugikan pihak lain, orang berzina atas dasar cinta dengan menyengsarakan pihak lain, manusia membunuh orang lain atas dasar pembelaan terhadap yang dicintainya dengan menghilangkan nyawa orang lain, remaja yang cinta terhadap lawan jenis dengan menghiasi cintanya dengan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Yang semuanya itu bertentangan dengan risalah Nabi Muhammad SAW. Ini bukanlah cinta, tapi hawa nafsu yang mana hawa nafsu akan selalu menyuruh untuk berbuat kejahatan.

D.  Kesimpulan
1.    Ada beberapa macam cinta yang disebutkan dalam al-Qur’an, yang meliputi: Mawaddah, rahmah, mail, syaghaf, ra’fah, shabwah, syauq, dan kulfah..
2.    Manusia memang diberi naluri mempunyai rasa cinta baik kepada sesama jenis, harta benda dan lainnya. bagi orang yang bertakwa besok di akhirat mendapatkan balasan yang lebih baik daripada itu semua yang berupa surga, bidadari, dan ridha Allah.
3.    Cinta terhadap apapun dan siapapun merupakan kesenangan dunia tapi bila dihiasi dengan taqwa terhadap Allah SWT maka cinta merupakan anugerah Ilahi Rabbi, merupakan sesuatu yang suci.
4.    Cinta itu butuh pengorbanan, termasuk juga cinta pada Allah yang diimplementasikan dengan mengikuti apa yang dilakukan dan diperintahkan leh Nabi, pengakuan cinta namun tidak mau berkorban adalah cinta palsu.

Referensi
Ismail bin Muhammad al-Anshari, at-Tuhfah ar-Rabbaniyyah ‘ala Syarah al-Arba’in, Maktabah Syamilah.
Jalaluddin as-Suyuthi, Lubab an-Nuqul fi asbab an-Nuzul, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, 2002.
Khalid Muhammad, Rijal Haula ar-Rasul, al-Maktabah al-Ashriyyah: Beirut, 2012.
M. Ali as-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, Dar al-Fikr: Beirut, 2001.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, V. 2, Lentera Hati: Jakarta, 1998.
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar al-Fikr: Beirut, 2001.
Muhammad Sidqi al-‘Athar, Mu’jam Mufahras li al-Fazh al-Qur’an, Dar al-Fikr: Beirut, 2010.
Mutawalli Sya’rawi, Tafsir as-Sya’rawi, Maktabah Syamilah.

Thanks for reading & sharing Mukholis

Previous
« Prev Post

2 comments: