HUKUM SHOLAT JUM’AT DAN HUKUMAN MENINGGALKAN
SHOLAT JUM’AT
Pada kesempatan pagi ini tepatnya hari Jum’at 25 April 2014
setelah rutinitas hari libur kerjaku di teras ma’had Pondok Pesantren Majlis Ta'lim Miftahul Huda Tegalsambi kami yang selalu menemaniku
setiap beristirahat kami mencoba memberikan informasi kepada pembaca setia Cholsproduction.com
untuk mengetahui dalil-dalil tentang Hukum tentang sholat jum’at . Menurut Al-Ustadz
Abdul Mu’thi, Lc. Dalam sebuah artikel yang ia tulis bahwa Shalat Jum’at
hukumnya wajib berdasarkan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’
(kesepakatan) ulama.
Adapun
dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseruuntuk menunaikan shalat
Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli.” (al-Jumu’ah: 9)
Segi pendalilan
dari ayat di atas tentang wajibnya Jum’atan adalah Allah Subhanahu wata’ala
memerintahkan bergegas/bersegera, sedangkan yang dituntut oleh perintah adalah
perkara wajib. Sebab, (tentu) tidaklah sesuatu diharuskan bergegas selain untuk
hal yang wajib. Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala juga
melarang berjual beli ketika azan Jum’at telah dikumandangkan agar seseorang
tidak tersibukkan dari Jum’atan. Andaikata Jum’atan tidak wajib, tentu Allah Subhanahu
wata’ala tidak melarang jual beli saat Jum’atan. (lihat al-Mughni 3/158,
Ibnu Qudamah)
Adapun dalil dari as-Sunnah, adalah hadits yang secara tegas
menunjukkan wajibnya Jum’atan, yaitu hadits Thariq bin Syihab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِ أَرْبَعَةً:
عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib atas setiap muslim dengan berjamaah,
selain atas empat (golongan): budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang
sakit.” (HR. Abu Dawud dalam as-Sunan no. 1067. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya
sahih dalam al-Majmu’ 4/349, demikian pula al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3111)
Adapun ijma’ ulama, Ibnul Mundzir rahimahullah menukil
adanya ijma’ tentang wajibnya Jum’atan dalam dua kitab beliau, yaitu al-Ijma’
dan al-Isyraf, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi t dalam al-Majmu’
SyarhulMuhadzab (4/349).
Utama dalam Shalat Jum’at
Pada hari Juma’at sebenarnya hari yang sangat besar ketika kita
menjalani ibadah kita yang berkaitan ilmu agama serta amalan-amalan yang sering
kita lakukan. Di samping mendatangkan pahala, shalat Jum’at juga menjadi
pembersih dosa antara Jum’at tersebut dan Jum’at berikutnya, sebagaimana hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى وَفَضْلُ
ثَلَاثَةٍ أَيَّامٍ
“Barangsiapa mandi kemudian mendatangi Jum’atan, lalu shalat
(sunnah) yang ditakdirkan (dimudahkan) Allah Subhanahu wata’ala baginya,
sertadiam sampai (imam) selesai dari khutbahnya dan shalat bersamanya,
diampuni baginya antara Jum’at itu hingga Jum’at berikutnya, ditambah tiga
hari.” (Shahih Muslim, Kitabul Jum’ah)
Melaksanakan
shalat Jum’at adalah syiar orang-orang saleh, sedangkan meninggalkannya adalah
pertanda kefasikan dan kemunafikan yang mengantarkan pada kebinasaan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتَمِنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ
“Hendaknya orang-orang berhenti meninggalkan Jum’atan, atau
(kalau tidak) Allah Subhanahu wata’ala akan menutup hati-hati mereka, kemudian
tentu mereka akan menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim dalam
Shahih-nya, “Kitabul Jumu’ah”, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhuma)
Apabila seseorang
ditutup hatinya, dia
akan lalai melakukan amalan yang bermanfaat dan lalai meninggalkan hal yang
memudaratkan (membahayakan).
Hadits ini termasuk ancaman
yang keras terhadap orang yang meninggalkan dan meremehkan Jum’atan. Juga
menunjukkan bahwa meninggalkannya adalah faktor utama seseorang akan diabaikan
oleh Allah Subhanahu wata’ala. (lihat Subulus Salam 2/45)
Ancaman tersebut
terarah kepada yang meninggalkan Jum’atan tanpa uzur. Al-Imam ath-Thabarani rahimahullah
meriwayatkandalam al-Mu’jam al-Kabir dari Usamah bin Zaid radhiyallahu
‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang
artinya), “Barangsiapa meninggalkan 3 Jum’atan tanpa uzur, dia ditulis sebagai
golongan munafikin.” (Shahih at-Targhib no. 728)
Siapakah yang di wajibkan Shalat Jum’at?
Shalat Jum’at wajib atas golongan berikut :
1. Seorang muslim yang sudah baligh dan berakal
Dengan demikian, orang kafir tidak wajib Jum’atan, bahkan jika
mengerjakannya tidak dianggap sah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْابِااللهِ وَبِرَسُوْلِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari
mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya.” (at-Taubah: 54)
Apabila Allah Subhanahu
wata’ala tidak menerima infak orang kafir padahal manfaatnya sangat luas,
tentu ibadah yang manfaatnya terbatas (untuk pelaku) lebih tidak terima. (lihat
asy-Syarhul Mumti’ 5/10)
Adapun anak kecil
yang belum baligh tidak wajib Jum’atan karena belum dibebani syariat. Meskipun
demikian, anak laki-laki yang sudah mumayyiz (biasanya berusia tujuh tahun
lebih), dianjurkan kepada walinya agar memerintahnya menghadiri shalat Jum’at.
Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مُرُوْا الصَّبِيَّ بِالصَّ ةَالِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ
“Perintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat apabila sudah
berumur tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud dari Sabrah radhiyallahu ‘anhu.
Al-‘Allamah al-Albani memasukkan hadits ini dalam Shahih al-Jami’)
Sementara itu,
orang yang tidak berakal (gila) secara total berarti dia bukan orang yang cakap
untuk diarahkan kepadanya perintah syariat atau larangannya. Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ:
عَنِ النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَشِبَّ، وَعَنِ الْمَعْتُوْهِ حَتَّى يَعْقِلَ
2. Laki-laki
Maka dari itu, tidak wajib shalat Jum’at atas perempuan,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ اِ أَرْبَعَةً:
عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ
“Jum’atan adalah hak yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim
secara berjamaah, kecuali empat orang: budak sahaya, wanita, anak kecil, atau
orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 1067 dan dinyatakan sahih
oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ dan al-Albani rahimahullah
dalam al-Irwa’ No. 592)
Seseorang yang
berkelamin ganda (ambiguousgenitalia, keraguan alat kelamin, -red.)
tidak wajib Jum’atan karena tidak terwujudnya persyaratan pada dirinya. Orang
yang seperti itu tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, padahal
hukum asalnya seorang itu terbebas dari tanggungan/kewajiban sampai yakin
(adanya) persyaratan yang menjadikan ia diwajibkan. Sementara itu, di sini
belum terbukti adanya persyaratan tersebut. (asy-Syarhul Mumti’ 5/7) An-Nawawi rahimahullah berkata, “Teman-teman kami (ulama
mazhab Syafi’i) telah berkata, ‘Tidak wajib Jum’atan bagi orang (yang
berkelamin ganda) karena masih adanya keraguan tentang (syarat) wajibnya’.” (al-Majmu’
Syarhul Muhadzdzab 4/350)
Dalam masalah
ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa budak sahaya
tidak wajib Jum’atan berdasarkan hadits yang telah disebutkan pada poin kedua.
Hal ini juga dikarenakan manfaat diri budak sahaya dimiliki oleh tuannya
sehingga ia tidak leluasa. (lihat al-Majmu’ 4/351, an-Nawawi rahimahullah,
dan al-Mughni 3/214, Ibnu Qudamah)
Namun, sebagian ulama berpendapat, apabila tuannya mengizinkannya
untuk Jum’atan, dia wajib menghadiri Jum’atan karena sudah tidak ada uzur lagi
baginya. Pendapat ini yang dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin (asy-SyarhulMumti’ 5/9).
Kebanyakan ulama
berpendapat bahwa musafir tidak wajib Jum’atan. Di antara ulama tersebut adalah
al-Imam Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Di antara hujah
(argumen) mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu
melakukan safar/bepergian dan beliau tidak shalat Jum’at dalam safarnya. Ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan haji wada’ di Padang Arafah
(wukuf) pada hari Jum’at, beliau shalat zhuhur dan ashar dengan menjamak
keduanya dan tidak shalat Jum’at. Demikian pula para al-Khulafa’ ar-Rasyidin.
Mereka safar untuk haji dan selainnya, dan tidak ada seorang pun dari mereka
yang shalat Jum’at saat bepergian. Demikian pula para sahabat Nabi selain
al-Khulafa’ ar-Rasyidin radhiyallahu ‘anhum dan yang setelah mereka.” (al-Mughni
3/216, Ibnu Qudamah)
Di antara dalil
yang paling jelas tentang tidak wajibnya Jum’atan atas musafir adalah hadits
Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan shalat Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam di Padang Arafah di hari Jum’at. Jabir radhiyallahu
‘anhu mengatakan, “Kemudian (muazin) mengumandangkan azan lalu iqamah, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat zhuhur. Kemudian (muazin) iqamah,
lalu shalat ashar.” (Shahih Muslim, “Kitabul Hajj” no. 1218)
Adapun tentang
musafir yang singgah atau menetap bersama orang-orang mukim beberapa saat,
sebagian ulama berpendapat disyariatkannya Jum’atan atas mereka karena mereka
mengikuti orang-orang yang mukim.
Ulama juga
mensyaratkan diwajibkannya Jum’atan atas seseorang yakni dia tinggal dan
menetap di mana pun mereka menetap dan dari apa pun rumah mereka terbuat.
Berbeda halnya dengan orang-orang badui yang senantiasa berpindah-pindah tempat
untuk mencari lahan yang banyak rumput dan airnya. Orang yang seperti ini tidak
wajib Jum’atan. (Lihat Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/166-167)
Karena tinggal
menetap di suatu tempat adalah syarat wajibnya Jum’atan, orang-orang yang
bekerja di tengah laut seperti nakhoda, anak buah kapal (ABK), dan para
musafirin yang ada di atas kapal tidak wajib Jum’atan. Bahkan, sebagian ulama
mengatakan tidak sah jika mereka melakukan Jum’atan, sebagaimana pendapat
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Sebab, menurut petunjuk
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Jum’atan itu tidak dilakukan
selain di perkotaan atau perdesaan yang memang tempat menetap. Adapun orang
yang tengah berlayar, mereka tidak menetap dan berpindah-pindah. Jadi, yang
wajib atas mereka adalah shalat zhuhur. (Lihat Fatawa Arkanil Islam
karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hlm. 391)
Orang yang
memiliki uzur, ada keringanan tidak menghadiri shalat Jum’at dan menggantinya
dengan shalat zhuhur.
Al-Imam Ibnu
Abdil Barr rahimahullah menerangkan, “(Kata) uzur sangat luas
penjabarannya. Intinya adalah segala halangan yang mencegah seseorang
menghadiri pelaksanaan Jum’atan. Bisa jadi, hal itu berupa sesuatu yang
mengganggunya, misalnya ada kezaliman yang dikhawatirkannya, atau bisa
menggugurkan suatu kewajiban yang tidak ada seorang pun yang bisa
menggantikannya. Di antara uzur tersebut adalah (takut dari) penguasa zalim
yang akan berbuat kezaliman, hujan deras yang terus-menerus, sakit yang
mencegahnya, dan semisalnya. Termasuk uzur juga adalah seseorang yang mengurusi
jenazah yang tidak ada yang mengurusinya selain dia, yang apabila dia
tinggalkan, jenazah itu akan tersia-siakan dan rusak. (at-Tamhid
16/243-244)
Dalilnya telah
berlalu pada pembahasan orang yang tidak wajib Jum’atan.
Yang dimaksud sakit yang diberi keringanan di sini adalah apabila
si sakit menghadiri Jum’atan, ia akan menemui kesulitan yang nyata, bukan
sekadar perkiraan. Maka dari itu, masuk pula dalam hal ini adalah seseorang
yang terkena diare berat. (al-Majmu’, an- Nawawi, 4/352)
Di antara uzur
yang membolehkan meninggalkan Jum’atan dan menggantinya dengan shalat zhuhur
adalah seorang yang diberi tanggung jawab atas sebuah tugas yang berkaitan
dengan keamanan umat dan kemaslahatannya. Dia dituntut untuk melaksanakan tugas
tersebut di waktu shalat Jum’at, seperti aparat
keamanan, petugas pengatur lalu lintas, dan petugas operator telekomunikasi.
Demikian pula
dokter piket (dokter jaga) di rumah sakit atau klinik kesehatan, yang jika ia
meninggalkan tugasnya untuk shalat Jum’at diperkirakan akan berdampak pada
lambannya penanganan terhadap pasien yang membutuhkan pertolongan segera
sehingga bisa mengancam keselamatan pasien. (Lihat Fatawa al-Lajnah
ad-Daimah, 8/189-192)
Khutbah, Syarat Sahnya Jum’atan?
Untuk sahnya
shalat Jum’at haruslah didahului oleh khutbah. Hal ini karena tidak ada riwayat
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau
shalat Jum’at tanpa didahului oleh dua khutbah.
Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya khutbah adalah syarat dalam Jum’atan. Tidak sah
Jum’atan tanpa adanya khutbah. Ini adalah pendapat ‘Atha, an-Nakha’i, Qatadah,
ats-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ashabur Ra’yi. Kami tidak
mengetahui ada yang menyelisihinya selain al-Hasan (al-Bashri). Ia berkata,
‘Sah shalat Jum’at semuanya, apakah imam berkhutbah atau tidak, karena shalat
Jum’at adalah shalat hari raya sehingga tidak disyaratkan adanya khutbah
seperti shalat Idul Adha’.”
Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata, “Dalil kami adalah firman Allah Subhanahu
wata’ala,
فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ
“Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah’.” (al-Jumu’ah: 9)Zikir (di sini) adalah khutbah. (Dalil yang lain), Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
meninggalkan khutbah Jum’at dalam keadaan apa pun, padahal beliau bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat.” (al-Mughni, 3/170-171)
Waktu Shalat Jum’at
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa waktu shalat Jum’at sama dengan waktu shalat zhuhur, yaitu
dari tergelincirnya matahari hingga masuknya waktu ashar.
Hal ini
berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam shalat Jum’at ketika matahari telah condong (ke barat).
(HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 904)
Demikian pula
diriwayatkan dari Umar, Ali, an-Nu’man bin Basyir, dan ‘Amr bin Huraits radhiyallahu
‘anhum bahwa mereka shalat Jum’at setelah tergelincirnya matahari. (Fathul
Bari 2/387)
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صل الله عليه وسلم يُصَلِّي الْجُمُعَةَ ثُمَّ نَذْهَبُ إلَى جِمَالِنَا فَنُرِيْحُهَا حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ
“Adalah Rasulullah shalat Jum’at kemudian kami pergi menuju
unta-unta (pembawa air) kami, lalu kami mengistirahatkannya ketika
tergelincirnya matahari.” (HR. Muslim dalam “Kitabul Jumu’ah”)
Hadits ini
menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at
sebelum tergelincirnya matahari, karena para sahabat mengistirahatkan unta-unta
pembawa air mereka setelah Jum’atan di saat matahari tergelincir. Dengan
demikian, tentu pelaksanaan shalat Jum’at terjadi sebelumnya.
Telah dinukil
dari sebagian salaf (yakni sahabat Nabi) tentang pelaksanaan shalat Jum’at
sebelum tergelincirnya matahari.
Di antaranya
adalah atsar Bilal al-‘Absi bahwa ‘Ammar (bin Yasir) radhiyallahu ‘anhuma shalat
Jum’at mengimami manusia. Para jamaah waktu itu (pendapatnya) menjadi dua
kelompok. Sekelompok mengatakan (bahwa shalatnya) sesudah matahari tergelincir
dan sekelompok yang lain mengatakan sebelum tergelincir.
Demikian pula
atsar dari Abu Razin. Dia berkata, “Dahulu kami shalat Jum’at bersama Ali (bin
Abi Thalib). Terkadang kami telah mendapati adanya bayangan dan terkadang kami
belum mendapatinya.” (Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan
dinyatakan sahih oleh
al-Albani
dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 25)
Tentang
hadits-hadits yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat
Jum’at setelahtergelincirnya matahari, pendapat ini menjawab bahwa hal itu
tidak menafikan bolehnya shalat Jum’at sebelumnya. (Nailul Authar 3/310)
Kesimpulannya,
shalat Jum’at sebelum/menjelang tergelincirnya matahari itu boleh sebagaimana
jika dilakukan setelah tergelincirnya matahari. Pendapat ini pula yang
dikuatkan oleh asy-Syaikh al-Albani (seperti dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm.
25).
Demikian apa yang
telah kami paparkan semoga menjadikan kita lebih tekun beribadah serta mampu
meningkatkan Ibadah kita kepada Allah semata. Ingat kalo kamu ngaku Muslim yang
ganteng harus sholat Jum’at. hehehhee
referensi :http://asysyariah.com
Artikel Lainnya:
Kewajiban dan Tata Cara Merawat Janazah
TAFSIR AYAT AYAT CINTA, UNISNU, STAIN KUDUS, IAIN
MENGAWALI SEGENAP AKTIVITAS DENGAN BASMALAH
MENGAMBIL BALIHO ATAU BENDERA PARTAI
Pondok Pesantren Majlis Ta'lim Miftahul Huda (PP. MATAMIFDA)
Thanks for reading & sharing Mukholis
0 comments:
Post a Comment